Oleh                 : Tetsuko Kuroyanagi
ISBN                 : 9789792236552
Rilis                   : 2008
Halaman           : 272
Penerbit            : Gramedia Pustaka Utama
Bahasa             : Indoensia
 Totto-chan, gadis polos dengan seribu tanya. Begitu Tetsuko Kuroyanagi mendeskripsikan yang sebenarnya adalah dia sendiri pada masa kecilnya. Buku ini benar-benar inspriratif yang khusus didedikasikan kepada Sosaku Kobayashi, kepala sekolah terbaik sekolah Tomoe yang berdiri sejak tahun 1937-1945.

Sinopsis

Ibu Guru menganggap Totto chan nakal, padahal gadis cilik itu hanya punya rasa ingin tahu yang besar. Itulah sebabnya ia gemar berdiri di depan jendela selama pelajaran berlangsung. Karena para guru sudah tak tahan lagi, akhirnya Totto chan dikeluarkan dari sekolah.
Mama pun mendaftarkan Totto chan ke Tomoe Gakuen. Totto chan girang sekali, di sekolah itu para murid belajar di gerbong kereta yng dijadikan kelas. Ia bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan. Mengasyikkan sekali kan?
Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu, pokoknya sesuka mereka. Karena sekolah itu begitu unik, Totto-Chan pun merasa kerasan.
Walaupun belum menyadarinya, Totto chan tidak hanya belajar fisika, berhitung, musik, bahasa, dan lain-lain di sana. Ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri.

Review

Gaya bahasa Tetsuko dalam bukunya menggunakan Totto-chan sebagai peran utama namun sebenarnya yang ditekankan adalah sosok pak Sosaku Kobayashi. Bagaimana beliau membangun karakter anak-anak dengan perkataan yang baik. “Kau benar-benar anak yang baik”, begitu pak Kobayashi selalu mengulangnya. Bagaimana beliau menanamkan kepercayaan kepada anak-anak untuk selalu menjaga alam dan menghormati orang-orang di sekitar.
Awalnya saya mengira bahwa buku ini akan lebih banyak bercerita tentang Totto-Chan, namun lama-kelamaan setelah menikmati aksara dari Tetsuko, ternyata yang lebih ditekankan adalah karakter dan perjuangan dari bapak kepala sekolah. Buku ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan tidak bisa digagas dan dilaksanakan hanya dengan berkumpul menyatukan pendapat, menggabungkan teori-teori belajar kemudian mufakat untuk mengaplikasikan sistem tersebut dengan tanda ketukan palu dalam suatu sidang penetapan keputusan. 
Pak Kobayashi menunjukkan bahwa untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang berkualitas dibutuhkan durasi waktu yang cukup lama. 5 tahun? masih sangat kurang. Beliau butuh waktu belasan tahun untuk dapat membangun fondasi sistem pendidikannya. Beliau juga banyak menyerap ilmu dari berbagai bidang seperti teori euritmik yaitu olahraga yang menghaluskan mekanisme tubuh, olahraga yang mengajari otak cara menggunakan dan mengendalikan tubuh, olahraga yang memungkinkan raga dan pikiran memahami irama, semacam pendidikan tentang ritme atau irama khusus yang diadaptasi dari seorang guru musik dan pencipta lagu berkebangsaan Swiss, Emile Jaques-Dalcroze.  Sebelum mendirikan Tomoe Gakuen, Sosaku Kobayashi pergi ke eropa untuk melihat bagaimana anak-anak dididik di luar negeri. beliau mengunjungi banyak sekolah dasar dan diskusi dengan banyak pendidik.
Saking inspiratifnya buku ini, pemerintah Jepang menjadikan buku ini sebagai buku pendidikan yang dipakai oleh berbagai tingkat pendidik sebagai refernsi untuk mengajar. Sebagai bacaan anak-anak pun cocok karena bahasanya yang lugas dan memang bercerita tentang anak-anak.
****
Aku yakin, di mana di dunia ini ada banyak pendidik yang baik-orang-orang yang punya idealisme tinggi dan sangat mencintai anak-anak, yang bermimpi bisa mendirikan sekolah ideal. dan aku tahu betapa sulitnya mewujudkan impian itu (Tetsuko Koroyanagi).


Oleh             : Tere Liye
ISBN             : 9789792269055
Rilis              : 2011
Halaman       : 304
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Bahasa         : Indoensia
Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Apa definisi kebahagiaan? Kenapa tiba-tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan? Mengapa kita tiba-tiba sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar kabar buruk? Kenapa hidup kita seperti dikendalikan seuah benda yang disebut hati?
Tere Liye secara implisit menjawab rentetan pertanyaan ini dalam sebuah kisah mengharukan seorang ayah yang gemar berdogeng untuk anak dan cucunya.
Dapatkan buku ini di took buku online Bukupediahttp://www.bukupedia.com/id/book/id-37143/ayahku-bukan-pembohong.html

Sinopsis

Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?
Inilah kisah tentang seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelaskannya.
Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.

Review

Ini adalah sebuah cerita seorang anak, Dam, yang dibesarkan dengan beribu-ribu dongeng oleh ayahnya. Akibat dongeng itu, Dam, sangat senang dengan cerita ayahnya, sampai suatu saat Dam mendapati bahwa semua cerita ayahnya adalah bohong belaka. Dari situ, ia tak lagi suka dengan cerita-cerita ayahnya, ia menganggap ayahnya adalah pembohong, pembual besar, sampai-sampai tak sudi jika anaknya juga disuapi dengan cerita-cerita bohong tersebut.
Terlepas dari alur ceritanya yang hampir sama dengan novel Big Fish oleh Daniel Wallace, Tere Liye mengembalikan semuanya kepada pembaca untuk menyimpulkan apakah novel ini menjiplak/terinspirasi atau tidak. Bang Tere hanya ingin meyakinkan bahwa kebahagiaan itu sederhana, dunia anak-anak selalu indah, dan kasih sayang keluarga adalah segalanya. Kabar baiknya, inilah novel karangan Tere Liye (2011) yang berhasil membuat pembacanya berderai air mata ketika selesai membacanya. Cara Tere Liye yang selalu bercerita dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam setiap dongeng yang diceritakan oleh ayah Dam membuat novel ini harus dibaca oleh anak-anak muda Indonesia.
Sosok ayah dalam novel ini merupakan sosok inspiratif. Betapa ia lebih memilih untuk menjadi orang yang sederhana dalam hidupnya demi mencapai kebahagiaan hakiki. Seorang lulusan luar negeri, mahasiswa lulusan terbaik yang seharusnya berdasarkan gelar akademiknya akan memilih menjadi hakim agung, namun tidak bagi sang ayah. Beliau lebih memilih menjalani hidup sederhana.
Hakikat kebahagiaan itu berasal dari hati kau sendiri, bagaimana membersihkan dan melapangkan hati sendiri, bertahun-tahun membuat hati lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat pula hilang kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, semunya juga datang dari luar. Semuanya akan datang jika hati dangkal, hati seketika keruh berkepanjangan.
Berbeda halnya jika kita punya mata air sendiri di dalam hati, mata air yang konkret yang menjadi sumber kebahagiaan. Inilah hakikat kebahagiaan sejati, memperolehnya tidak mudah. Kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memksa hati untuk berlatih. Berprasangka baik kepada semua rang, berbust baik bahkan pada orang yang baru dikenal, menghargai orang lain, kehidupan dan alam sekitar.


Oleh              : Eka Kurniawan
ISBN              : 9786020303932
Rilis                : 2014
Halaman        : 252
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Bahasa          : Indoensia
Novel ini bertema romansa yang menceritakan kisah cinta sederhana Ajo Kawir dan Iteung. Melalui novel ini Eka Kurniawan menggambarkan secara tidak langsung kondisi negeri kita yang dikuasai oleh nafsu. Cara Eka Kurniawan bercerita menjawab pertanyaan mengapa di bagian belakang novel ini tertulis 21+.

Sinopsis

Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.

Review

Gaya eka bercerita dalam novel terbarunya ini menurut saya “lucu”. Dari satu bagian ke bagian yang lain, sebelum dan sesudah bagian cerita, tidak berhubungan. Kadang Eka bercerita tentang kisah yang belum diceritakan, kadang ia menjelaskan sebab muasal kisah sebelumnya dan hal inilah yang membuat pembaca senang dan selalu fokus dalam menikmati novel ini. Mungkin pembaca yang baru membaca bagian-bagian awal dari buku ini akan bingung bahkan sampai bertanya apakah ini benar-benar cerita yang berhubungan atau malah cerita baru? Ternyata Eka Kurniawan menyelipkan penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan tadi di bagian yang tidak disangka-sangka.
Beberapa kisah dalam novel ini merupakan gambaran bebalnya para pelaksana hukum di negeri kita, di mana ada segelintir dari mereka memanfaatkan seragam yang dipakai untuk memuaskan nafsu, mengorbankan wanita gila yang ditinggal mati oleh suaminya. Tidak hanya dari sisi pelaksana hukum, sisi lain yang diselipkan Eka Kurniawan dalam novelnya adalah ke’gatalan’an para pendidik yang seharusnya tidak layak dianggap sebagai pendidik. Mereka lagi-lagi mengambil kesempatan dari gelar profesi pahlawan tanpa tanda jasa hanya untuk kesenangan nafsu semata, yang mengakibatkan gangguan pada kepribadian si anak sampai ia besar, dan hal itulah yang dirasakan oleh Iteung. Pelajaran yang paling terlihat jelas di novel ini adalah, se-garang-ngeri-kuat-sangar-nakal-nya laki-laki selalu ada sisi melankolisnya untuk wanita yang disayangnya, selalu. Hal ini digambarkan jelas oleh Eka pada karakter Ajo Kawir dan Mono Ompong. Saya juga salut dengan Si Tokek dengan cara ia menghargai sahabatnya dan kekonsistenan ia menghukum dirinya sendiri terhadap kesalahan besarnya di masa lalu kepada sahabatnya, dan cara ia ber-joke dengan kawan dan keluarganya.
Selain itu, yang membuat novel ini juga tergolong recommended adalah Eka tak ragu menyelipkan frankly speaking yang berhasil membuat perut tergelitik namun dalam keadaan bersamaan juga menyentil kesadaran. Seperti dalam percakapan Wa Sami dan Si Tokek,
“Masya Allah, bisakah kalian berhenti menjadi makhluk yang sia-sia?”
“Tuhan bilang, tak ada yang sia-sia di dunia ini,” kata Si Tokek.
“Jangan sok tahu. Kau tak tahu apa-apa tentang apa yang Tuhan katakan.”


When big larry came around just to put him down
Spongebob turned into a clown
And no one ever wants to dance
With a fool who went and ripped his pants
I know I souldn’t mope round I souldn’t curse
But the pain feels so much worse
‘Cause windin’ up with no one is a lot less fun
Than a burn from the sun or sand in your buns
Now I learned a lesson I won’t soon forget
So listen and you won’t regret
Be true to yourself don’t miss your chance
And you won’t end up like the fool who ripped
his pants
(spongebobs the best!!)

#very like the means of this song... "sesuatu" :D

malam itu, saya hendak ngajar. Biasa, rutininitas baruku yang telah kujalani hampir setengah tahun ini. seperti biasa, saya diantar oleh adek saya, Heri. Namun, kali ini rute yang diambil heri berbeda dengan yang sebelumnya. Nah, cerita dimulai ketika kami berhenti di lampu lalu lintas (kalo kbnyakan orang di Makassar seringnya bilang "lampu merah" (aneh juga sih, kenapa yang disebut adalah lampu merah, padahal ada dua lampu lagi yang juga berbeda warnax. mungkin karena warna merah pada lampu lalu lintas tersebut memberikan makna yang lebih berarti bagi pemakai jalanan dibandingkan dengan warna lampu hijau dan kuning tentunya). Singkat cerita, ketika "lampu merah" benar-benar merah, seorang anak dengan gemericing (dak tahu nama alat yang dimaksud, terbuat dari kaleng, yang jika digoyangkan akan menghasilkan bunyi khas) menghampiri kami.


dimanaaaa, dimanaa, dimaaaanaaa...
kuharuuusss, mencariiii di maaanaaa...

dengan suara cengkoknya, anak yang kira-kira masih berusia 5 tahun itu bernyanyi. dengan muka tnpa ekspresi, ia tetap saja melanjutkan lagunya si ayu ting-ting. 



Awalnya saya merasa terganggu, tapi lama ketika saya tatap mata anak lampu merah tersebut, ada sesuatu yang bercerita di dalamnya. Entah, apa. Dan ketika "lampu merah" telah berubah warna dan tak ada seorangpun yang menyisihkan sebagian rupiah untuk ia, terlihat jelas kekecewaan d matanya. sedih saya melihatnya. Terlalu cepat bagi anak seumuran ia untuk merasakan "indah"nya memperoleh rupiah.



Image Detail 

setelah itu, beberapa "questionmark" terlintas d benakku:

"di mana mamanya..??
 di manaa bapaknya..?? 
dimana keluarganya..??
setega itu mereka meninggalkan anaknya di jalanan..?? bertemu dengan beribu karakter di jalanan.?? dengan beribu merek kendaraann..?? dan tentunya beribu bahaya di sana..

selalu saya mengatakan " saya tak tahan melihat anak-anak dan orang yang sudah tua" selalu saja hati saya tersentuh jika melihat anak-anak dan orang tua. jika bukan "GEMAS" pada mereka berarti "TERIRIS" melihat mereka. terlalu deras air mata ini untuk mereka. 

THANK YOU

Susahh untuk melupakan seseorangg. Sangat susah malah. apalagi dia yang pernah membuatmu bahagia, dia yang pernah membuatmu tenang, walaupun pada akhirnya membuatmu sedih dan kecewa yang berlarut-larut. Tapi kalau di pikir-pikir, kanapa kita harus terus menerus memikirannya, sehingga luka akan semakin terkuak dan hanya perih yg dirasakan..??

Lama sya merenungi semuanya. Sampai saya sadar bahwa toh lebih baik saya memaafkan smuanya daripada mengingat yang menyesakkan dada, dan memang perasaan menjadi lebih enteng karenanya.

Jadikan pelajaran, dan saya sangat berterimakasih kepadanya.
REALLY I WANT TO SAY THANK YU SO MUCH TO YOU...
hope u well over there,,,
thank yu so much ^^

MISS

Monday, i'm waiting
tuesday, i'm still waiting to see
see, see... If u are fine
wednesday, u're still not here
neither in the morning, not later
thursday, is also empty
friday or saturday or even sunday
none of the day that i don't miss you
none of the day that you will come back
to be in our old days

how long it will be like this...?? I don't know
how many months or years...??
How many billions of our past memory..??

I NEVER DON'T MISS U
I NEVER DON'T MISS U
I NEVER DON'T MISS U

#for someone, who makes me know "what love it is"
thanks alots...

Saya punya banyak nama. Kalo yang baru kenal panggilnya Icha, ketika SD saya dipanggil Icha kecil. sejarahnya seperti ini. Dulu dalam kelas saya ada dua orang yang namanya icha, yang satu nama lengkapnya Sitti Roisatunnisa dan yang satunya lagi Nur Raisah Maddeppungeng. Nah, berhubung karena kedua Icha ini tidak ada yang mo ngalah untuk merelakan nama mereka diganti, makanya teman-teman mereka mengambil inisiaatif untuk menambahkan "ekor" pada kedua nama mereka. Si Nur Raisah Maddeppungeng yang bertubuh imut (cieeeh, maunya... :D) diberi nama "icha kecil" dan melekatlah nama itu selama 6 tahun. Bahkan, ketika saya bertemu teman kecil (teman SD maksudnya) nama itu masih melekat. Yang saya pertanyakan slama ini, knapa teman kelas saya tidak memberikan "ekor" di belakang nama sya seperti "imut" atau "mungil" atau apalahh... :D
Ini foto saya ketika masih duduk di kelas 4 SD

trus, si Icha kecil kemudian lanjut SMP di Pondok Pesantren Ummul mukminin. Sebenarnya alasan utamanya kenapa ingin masuk pesantren hanya karena ingin merasakan bagaimana rasanya pegang uang sendiri, ngatur belanjaan, dan nyimpan uang sendiri. aneh ya... tapi karena keanehan itu, si Icha bisa tau dikit-dikit tentang agama, walupun hanya 3 tahun mondoknya. hampir sama sejarahnya ketika SD. si icha imut eh maksudnya icha kecil kemudian berubah nama menjadi "icha Rais"...
selanjutnya si Icha rais melanjutkan pendidikannya di SMAN 2 Tinggimoncong. skolah ini juga sekolah asrama, hampir sama dengan pesabtren tapi skolah ini bukan skolah biasa. Sekolah yang mengajarkan bagaimana menghargai orang lain dan tentunya diri sendiri. di sini si Icha Rais punya banyak nama. Ca'dii (nama blogq nih), ca'bengge', ca'dikang, cancorang, duuhh banyak dek pokoknya. tapi yang paling tenar itu ca'di...
ini nih fotonya seangkatan...



setelah itu, saya lanjutin belajar di Universitas Negeri Makassar. berhubung saya sudah jatuh cinta sama yang namanya CHEMISTRY makanya saya pilih jurusan ituu....




Blogger Template by Blogcrowds